Oleh: Dea Azalia Ramadhani (0601232055)

Hukum Kewarganegaraan Dalam Menanggapi Status dan Polemik Etnis Rohingya

Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Perpustakaan Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, Dosen Pengampu: Dr. Usiono, M.A.
Rini Sinik - Selasa, 21 Mei 2024 22:57 WIB

Hukum Kewarganegaraan adalah serangkaian aturan dan peraturan yang mengatur kriteria, prosedur, hak dan kewajiban yang terkait dengan status kewarganegaraan seseorang dapat memperoleh, kehilangan, atau mempertahankan kewarganegaraan, serta hak-hak dan tanggung jawab yang melekat pada status kewarganegaraan tersebut.

Seperti di Indonesia, baru saja terdengar kabar dari berbagai bentuk media yang ada. Yaitu dengan adanya penduduk asing yang dikabarkan, bahwa mereka usiran dari warga masyarakat Myanmar, mereka dikabarkan juga pertama kali masuk di tanah Indonesia yang lebih tepatnya di Aceh. Dan tidak hanya itu, kabarnya mereka sering membuat ulah yang tidak pantas sebagai non penduduk Indonesia.

Polemik Rohingya merupakan isu yang kompleks yang melibatkan hak asasi manusia, etnisitas, agama, dan kewarganegaraan. Rohingya adalah kelompok minoritas Muslim yang secara historis tinggal di negara bagian Rakhine, Myanmar, tetapi telah mengalami diskriminasi sistemik dan kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah dan mayoritas Buddhis. Sebagian besar Rohingya tidak diakui sebagai warga negara oleh pemerintah Myanmar, meskipun mereka telah tinggal di negara tersebut secara turun-temurun selama berabad-abad.

Masalah kewarganegaraan Rohingya di Myanmar menciptakan kondisi dimana mayoritas dari mereka tidak diakui sebagai warga negara, menjadikan mereka apatride. Akibatnya, hak-hak dasar kewarganegaraan seperti hak untuk memiliki identitas resmi, akses ke layanan publik, dan perlindungan hukum menjadi terbatas atau bahkan tidak ada sama sekali. Keadaan ini menyebabkan ketidakpastian, kerentanan, dan kesulitan dalam mengakses hak-hak fundamental sehingga menjadi isu kemanusiaan yang mendesak untuk diatasi secara komprehensif dan adil.

Hukum kewarganegaraan di Myanmar telah menjadi salah satu faktor utama dalam menimbulkan polemik ini. Pemerintah Myanmar telah menerapkan kebijakan diskriminatif yang menghalangi Rohingya dari mendapatkan kewarganegaraan atau bahkan mengakui keberadaan mereka sebagai kelompok etnis yang sah di negara tersebut. Sebagai akibatnya, jutaan Rohingya menghadapi kehidupan yang tidak pasti, rentan terhadap eksploitasi, dan seringkali terpaksa menjadi pengungsi di dalam negeri maupun di luar negeri.

Adapun Hukum internasional, terutama Konvensi tentang Status Pengungsi 1951, menetapkan prinsip-prinsip yang melindungi hak-hak pengungsi. Salah satunya adalah hak untuk tidak dipulangkan ke negara dimana mereka berpotensi menghadapi ancaman serius terhadap kehidupan atau kebebasan mereka.

Prinsip ini, dikenal sebagai prinsip non- refoulement, adalah pilar dalam perlindungan hak asasi manusia bagi pengungsi, menekankan pentingnya mencegah pengusiran paksa yang dapat membahayakan mereka. Prinsip ini mencerminkan komitmen global untuk menghormati dan melindungi hak asasi manusia, terutama dalam konteks krisis kemanusiaan yang melibatkan pengungsi seperti etnis Rohingya.Diskriminasi yang sistematis terhadap Rohingya telah menciptakan kondisi yang menyulitkan mereka untuk menjalani kehidupan yang layak dan aman di negara tempat mereka tinggal.

Keadaan ini juga telah menimbulkan krisis kemanusiaan yang membutuhkan respons global.Perhatian internasional terhadap situasi Rohingya menekankan perlunya tindakan nyata untuk mengakhiri diskriminasi, memastikan perlindungan hak asasi manusia bagi mereka, dan menegakkan keadilan. Pembelaan terhadap hak-hak Rohingya juga merupakan upaya untuk mencegah kejahatan yang ditujukan kepada mereka, serta untuk menegakkan prinsip-prinsip kemanusiaan yang mendasari hukum internasional.

Dengan menjadikan diskriminasi dan kejahatan terhadap kemanusiaan terhadap etnis Rohingya sebagai fokus perhatian, komunitas internasional dapat bekerja sama untuk memastikan bahwa hak asasi manusia semua individu dihormati dan dilindungi, serta untuk mencegah terulangnya kejahatan serupa di masa depan.

Tanggapan hukum kewarganegaraan terhadap polemik Rohingya sangatlah bervariasi, tergantung pada konteks hukum dan politik di setiap negara. Di tingkat internasional, banyak organisasi dan negara telah mengecam kebijakan Myanmar terkait dengan kewarganegaraan Rohingya sebagai pelanggaran hak asasi manusia.

Beberapa negara telah menawarkan bantuan dan perlindungan bagi pengungsi Rohingya, sementara yang lain telah mendorong Myanmar untuk mengubah kebijakan kewarganegaraannya. Dalam konteks Myanmar sendiri, upaya reformasi hukum kewarganegaraan telah diusulkan sebagai bagian dari solusi jangka panjang untuk mengakhiri krisis Rohingya. Ini bisa mencakup pengakuan kewarganegaraan bagi Rohingya dan perlindungan hukum yang memadai bagi semua minoritas etnis di negara tersebut.

Namun, perubahan semacam itu membutuhkan komitmen politik yang kuat dan perubahan mendasar dalam pandangan sosial dan politik di Myanmar.Dalam menghadapi krisis kemanusiaan yang melibatkan etnis Rohingya, penting untuk memberikan perlindungan dan bantuan kemanusiaan kepada para pengungsi Rohingya yang terlantar.

Langkah ini mencakup penyediaan tempat tinggal yang aman, akses ke pangan, air bersih, layanan kesehatan, pendidikan, dan perlindungan terhadap kekerasan fisik dan seksual. Bantuan kemanusiaan ini harus diselenggarakan dengan kerjasama antara pemerintah, lembaga internasional, LSM, dan masyarakat sipil untuk memastikan bahwa kebutuhan dasar mereka terpenuhi.

Selain itu, langkah-langkah jangka panjang harus diambil untuk memastikan reintegrasi yang aman dan bermartabat bagi etnis Rohingya. Ini mencakup upaya untuk mendukung pembangunan komunitas, pemulihan psikososial, pelatihan keterampilan, dan integrasi sosial agar mereka dapat hidup mandiri dan berdampingan dengan masyarakat lokal. Pengakuan kewarganegaraan juga penting untuk memberikan mereka hak-hak yang sama dan mengakhiri status apatride yang telah lama menghambat kehidupan mereka.

Dengan memberikan perlindungan, bantuan kemanusiaan, dan upaya reintegrasi yang berkesinambungan, komunitas internasional dapat membantu mengatasi krisis kemanusiaan yang melibatkan etnis Rohingya dan mendorong proses rekonsiliasi yang berkelanjutan untuk mencapai perdamaian, keadilan, dan martabat bagi semua warga negara.


Tag:

Berita Terkait

Artikel

Skandal Korupsi 271 Triliun di PT Timah: Menguak Penggelapan Terbesar dalam Sejarah Indonesia

Artikel

Membongkar Kasus Korupsi Melalui Media Sosial

Artikel

Membangun Kepemimpinan Bersih dari Pengalaman Pemimpin Anti Korupsi