Jakarta, MPOL - Isu
Palestina-
Israel bagian dari pertarungan Global Kemerdekaan
Palestina butuh keterlibatan internasional demikian mantan Komisi I DPR RI (2010-2016) yang juga Sekretaris Jenderal Partai Gelora Mahfuz Sidik mengatakan dalam diskusi Gelora Talks Rabu (31/7) dengan tema 'Rekonsiliasi Hamas dan Fatah & Diplomasi Baru China di Timur Tengah, di Jakarta.Menurut Mahfuz Sidik Kemerdekaan
Palestina tidak akan pernah bisa terwujud, apabila bangsa
Palestina dibiarkan berjuang sendiri. "Karena isu
Palestina versus
Israel ini, bagian dari pertarungan global. Kehadiran atau eksistensi negara yang bernama
Israel di tanah
Palestina itu, bagian dari skenario kekuatan barat."
Israel tidak akan pernah berdiri sebagai negara, jika tidak ada skenario dan agenda kekuatan barat setelah Perang Dunia II. "Begitupun dengan
Palestina tidak akan bisa eksis sendiri, juga membutuhkan keterlibatan kekuatan-kekuatan di luar itu. Kita harus berperan aktif dalam perdamaian dan kemerdekaan
Palestina." Indonesia bisa memainkan perannya lebih jauh, karena konstitusi mengamanatkan hal itu, sehingga bisa menjadi pijakan bagi politik luar negeri kita."Seperti kata Menlu China (Wang Yi) untuk mendukung kemerdekaan
Palestina itu, membutuhkan dukungan internasional, meskipun mereka memiliki hak veto. Di PBB tidak akan selesai, jika
Palestina dibiarkan sendiri." Indonesia harus mengkapitalisasi hal itu, menjadi kekuatan di level middle power. Indonesia harus memainkan 'puzzle' dukungan internasional untuk mendukung kemerdekaan
Palestina."Dukungan masyarakat dan pemerintah Indonesia memang luar biasa, tinggal kita highlight langkah-langkahnya seperti apa, sehingga bisa menjadi model politik luar negeri kita. Kita titipkan ke Pak Prabowo setelah dilantik, kemerdekaan
Palestina harus jadi agenda utama," tutur Mahfuz Sidik.Sedangkan Duta Besar LBBP RI untuk Yordania merangkap
Palestina Ade Padmo Sarwono mengaku pesimis perdamaian di
Palestina bakal terwujud pasca terbunuhnya Pemimpin Hamas, Ismail Haniyeh di Iran. "Terbunuhnya Ismail Haniyeh akan memperkuat konsolidasi persatuan di
Palestina. Mereka akan mengubah kembali jalur diplomasi dan negosiasi untuk mencapai kemerdekaan, dengan senjata lagi. Situasi ini akan memperkeras perjuangan melalui senjata."Perjanjian antara Hamas dan Fatah dalam 'Deklarasi Beijing', sebenarnya menjadi hal menarik, karena untuk pertama kali kesepakatan di antara faksi-faksi di
Palestina ditandatangani di luar Timur Tengah. "KIta sebenarnya menyambut baik rekonsiliasi nasional di antara faksi-faksi
Palestina. Tetapi situasi hari ini menyebabkan temperatur di kawasan Timur Tengah naik, ketegangan semakin tinggi. Nampaknya akan semakin sulit dan semakin susah untuk mencapai gencatan senjata yang saat ini," tutur Ade Padmo Sarwono.Sementara itu, Pengajar dan Peneliti Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada Siti Mutiah Setiawati menilai, China berhasil mengambil kesempatan ketika Amerika Serikat (AS) sedang tidak populer. Akibat dukungannya kepada
Israel dan membiarkan adanya pembantaian terhadap rakyat
Palestina."Dalam teori negosiasi, China berhasil membawa pihak-pihak yang berkonflik ke wilayah netral untuk didamaikan. Tetapi itu, tidak cukup hanya menjadi fasilitator, karena kesepakatannya tidak mengikat. China harusnya menjadi mediator, bukan fasilitator." Dengan menjadi mediator, lanjut dia, China bisa mendorong adanya 'agreement treaty' atau MoU antara Hamas dan Fatah agar dilaksanakan dalam rangka membangun negara
Palestina merdeka. Hal itu tidak akan tercapai, apabila China sekedar memfasilitasi perundingan saja."Indonesia sebenarnya punya pengalaman menjadi mediator dalam menangani masalah Kamboja. Mereka bertikai diundang ke Jakarta untuk meeting, dan masalah Kamboja tuntas sampai sekarang." Artinya, Indonesia sebenarnya punya pengalaman menjadi mediator dalam penyelesaian konflik dibandingkan China. Apalagi Indonesia juga memiliki kedekatan dengan faksi-faksi di
Palestina, serta mendukung kemerdekaan
Palestina. "Peran ini bisa dimainkan Indonesia, karena kesuksesan Deklarasi Beijing ini sangat tergantung pada Hamas dan Fatah sendiri yang berunding. Nah, Indonesia bisa masuk menjadi mediator," tutur Siti Muyiah.Begitu juga Duta Besar RI untuk Australia dan Tiongkok, 2003-2013 Imron Cotan menambahkan, konflik di Timur Tengah menjadi momentum bagi negara-negara middle power seperti Indonesia untuk mendorong kemerdekaan
Palestina. "Presiden terpilih kita (Prabowo Subianto) ini orang yang mengerti betul politik regional dan global. Lihat saja, beliau sudah berkunjung kemana saja dari Prancis masuk Serbia, lalu Turki dan sekarang ke Rusia."Prabowo, memberikan perhatian penuh terhadap isu-isu global seperti konflik di Timur Tengah dan perang Rusia-Ukraina. Sebab, kerusuhan di tingkat global akan mempengaruhi jalur logistik dan pertumbuhan ekonomi Indonesia. "Saya kira Presiden terpilih akan memimpin negosiasi dan diplomasi secara langsung, karena beliau mengetahui betul politik luar negeri Indonesia. Prabowo memberikan perhatian penuh terhadap isu-isu global, termasuk mendukung kemerdekaan
Palestina," tutur Imron Cotan.***