Jakarta, MPOL - Menang Kalah selalu ada dalam Pemilu demikian Ketua DPR RI
Puan Maharani mengatakan dalam pidato Sidang Bersama DPR dan DPD RI, Jumat (16/8) di DPR RI Jakarta.Bagi yang berhasil dalam Pemilu, semua hal menjadi indah untuk dikenang;sementara bagi yang belum berhasil, merasa serba sulit; sulit makan, sulit tidur, bahkan ada yang sulit untuk bangkit kembali. Itulah potret Pemilu 2024; Haruslah menjadi kritik dan otokritik bagi kita semua.Rakyat tidak dapat disalahkan atas pilihannya, apapun yang mendasari pertimbangannya. Rakyat memilih atas dasar apa yang diketahui dan dipahaminya; terlepas dari kualitas atas apa yang diketahui dan dipahaminya.Pengalaman demokrasi sudah panjang; pemilu telah dilaksanakan berkali-kali, bahkan sebelum era reformasi pemilu juga sudah dilaksanakan, dan rakyat juga memberikan pilihannya melalui pemilu; apakah pemilu saat itu memenuhi syarat- syarat pemilu yang bebas, jujur dan adil?Pemilu yang berkualitas tidak dapat hanya dilihat dari partisipasi rakyat dalam memilih. Akan tetapi harus dilihat dan dinilai juga dari Kebebasan rakyat untuk memilih, yaitu apakah rakyat dapat memilih dengan bebas, jujur, adil, tanpa paksaan, tanpa dikendalikan, dan tanpa rasa takut.Kita semua memiliki tanggung jawab bersama untuk menjaga dan menciptakan demokrasi yang berkualitas, semakin maju, beradab dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Menang kalah selalu ada dalam pemilu; Kita dituntut untuk memiliki etika politik siap kalah dan siap menang; Siap bertanding, siap juga untuk bersanding. Etika politik yang sama juga menuntut pemilu dilaksanakan dengan memberikan kebebasan kepada rakyat untuk menjalankan kedaulatannya.Dalam berdemokrasi, rakyat tidak pernah berkuasa; rakyat hanya menentukan siapa yang akan berkuasa, Hakekat demokrasi adalah untuk memberi jalan agar kekuasaan mendapatkan legitimasinya; sehingga kekuasaan dapat digunakan untuk mengatur bangsa dan negara bagi memberikan rakyatnya hidup sejahtera dalam harkat dan martabatnya.Akan tetapi, demokrasi dapat juga berjalan pada arah yang salah, yaitu demokrasi yang tidak menjalankan kedaulatan rakyat. Konstitusi kita telah meletakkan prinsip dasar berdemokrasi yaitu bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat; bahwa Indonesia adalah negara hukum; segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum. Konstitusi kita telah mengatur bagaimana kedaulatan rakyat harus dijalankan secara kolektif dengan prinsip checks and balances pada cabang-cabang kekuasaan negara eksekutif, legislatif dan yudikatif.Keseimbangan kekuasaan antar cabang-cabang kekuasaan negara eksekutif, legislatif dan yudikatif dapat berjalan dengan baik apabila politik berbangsa dan bernegara berlangsung secara demokratis; yaitu demokrasi kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.Hikmat kebijaksanaan adalah suatu kesadaraan akan pentingnya nilai-nilai dalam berbangsa dan bernegara; sehingga politik berbangsa dan bernegara dijalankan dengan menjunjung tinggi nilai- nilai yang beradab, bermartabat, dan beretika; sehingga perjuangan politik memiliki makna membangun peradaban.Suatu prinsip yang dikatakan Soekarno dalam pidato 1 Juni 1945, yaitu bahwa demokrasi kita adalah permusyawaratan yang memberi hidup, yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan; tetapi kita mendirikan negara semua buat semua, satu buat semua, semua buat satu. "All for one; One for All"Seorang Negarawan, akan memikirkan masa depan negara, yang harus lebih baik; sedangkan Politisi, akan memikirkan masa depan hasil pemilu, yang harus lebih baik. Visi tanpa kekuasaan menjadi sia-sia; kekuasaan tanpa visi menjadi sewenang- wenang. Oleh karena itu, untuk menjalankan praktek politik kekuasaan, dalam sistem pemerintahan presidensial, dengan keseimbangan cabang-cabang kekuasaan, maka kita membutuhkan Negarawan yang politisi dan Politisi yang negarawan; sehingga kekuasaan negara dijalankan untuk kebaikan yang lebih besar; bukannya untuk membesarkan diri sendiri, kelompok, maupun kepentingan tertentu, tutur
Puan Maharani.***